Senin, 25 November 2013

Namarappuccino: Kebodohan-Kebodohanmu

Namarappuccino: Kebodohan-Kebodohanmu: Kebodohanmu yang pertama adalah kamu masih saja bersamanya ketika dia sudah berulang kali melukaimu. Kamu mau membodohi dirimu sendiri de...

Selasa, 19 Februari 2013

Share Klinik #1: Trust, kunci dari pelayanan


Ada seorang kakak yang memintaku untuk share pengalaman klinik. Aku pun memutar otak, apa yang akan ku share, sementara pengalaman klinikku masih sangat minimal. Tapi, karenanya aku ingin menceritakan apa yang sejauh ini aku rasakan selama bekerja di klinik. Aku baru bekerja 4 bulan di sebuah rumah perawatan luka, jadi tidak banyak yang ingin aku ceritakan. Hanya ada empat poin. Dan kali ini aku hanya ingin menceritakan satu diantaranya. Tentang “trust”. Trust, kunci dari pelayanan.


Setidaknya, itu yang dapat aku simpulkan selama bekerja di sini. Ya, trust menurutku adalah kunci dari kesuksesan sebuah pelayanan. Khususnya pelayanan kesehatan, dalam kasusku perawatan luka. Mungkin menurut sebagian orang, kesuksesan merawat luka tergantung dari dressing yang diberikan ke pasien. Aku bukan tidak setuju dengan pendapat itu, tapi sebagus apa pun dressing yang diberikan kalau pasien belum trust dengan perawat, kesembuhan pasien akan terhambat. Karena trust adalah kuncinya.

Kenapa aku bisa mengatakan demikian? Itu yang aku alami. Kegagalan pertamaku merawat pasien.

Tn. Kr dengan luka abses di telinga kanan. Seperti biasanya, pada awal pertemuan aku menjelaskan proses perawatan sedetail-detailnya. Itu adalah protap (prosedur tetap) di tempat kerjaku, RUMAT. Waktu itu, aku sangat yakin tak ada yang terlewat. Di awal pertemuan pula, aku menduga proses penyembuhannya akan lebih lama dari pasien pada umumnya. Banyak pus, bau menusuk hidung, kondisi luka juga tidak seperti kondisi luka pada pasien pada umumnya. Meskipun demikian, aku berkeyakinan, jika Allah berkehendak, luka seperti apa pun bisa disembuhkan.

Pertemuan-demi pertemuan pun terlewati. Entah kenapa, setiap bertemu dengan pasien tersebut aku merasa semangatku menurun dan mendadak moody ku kambuh. Aku merasa seperti energi positifku tersedot, entah oleh apa. Hampir aku menyerah, tapi ku buang jauh-jauh pikiran itu.

Pertemuan kelima, belum ada progres yang berarti di pasien tersebut. Dan kembali aku hampir menyerah. Tapi tidak ku ikuti keinginanku itu. Aku hanya mengkonsultasikan kasusku kepada rekan yang lebih senior, bahkan hingga direktur Rumah Perawatan Indonesia. Namun, tak ada perubahan juga.

Pertemuan kedelapan mungkin menjadi puncak kejenuhan kami. Kejenuhanku dan kejenuhan pasien. Aku yang sedang hampir putus asa, tiba-tiba diberondong dengan sederet komplain yang terasa memojokkanku. Mulai dari nyeri yang dia rasakan saat perawatan, luka yang tak kunjung sembuh, hingga masalah ekonomi. Saya hanya mencoba bersabar dan tetap tersenyum serta menjelaskan sebisaku.

Kejadian tersebut benar-benar menyadarkanku. Aku tersadar, pasien tidak memiliki trust terhadapku. Bahkan dia tidak memilikinya dari awal kami bertemu. Dari dia yang enggan mendengarkan penjelasanku karena ingin segera dirawat. Ya, saya gagal membangun trust dari awal.

Karena tidak ada trust, energi yang dikeluarkan pun jadi negatif yang menyebabkan lingkungan sekitar menjadi negatif pula. Karena tidak ada trust, tidak ada sinergi antara perawat dan pasien. Karena tidak ada trust, hormon dalam tubuh merespon negatif pula. Karena tidak adanya trust, jangankan pasien sembuh, membaik pun tidak.

Itulah yang membuatku percaya bahwa trust adalah kunci dari setiap pelayanan. Ibarat rumah, jika kita tidak pernah bisa membuka kuncinya, ita tidak akan bisa masu rumah tersebut dengan leluasa. Bagaimanapun caranya, saat bertemu dengan pasien bangun trust terlebih dahulu sebelum melakukan hal lain.

Ners, yang perlu kita ingat, penentu kesembuhan pasien tidak hanya trust. Trust adalah kuncinya. Namun kita butuh lebih dari sekedar kunci. Masih ada hal lain yang perlu kita bangun. Tiga diantaranya, akan segera kuceritakan. “dhinns”

Sabtu, 04 Agustus 2012

Moody???!!!

Tidak sedikit orang yang mengatakan "nanti deh ngerjainnya, lagi gak mood." Ada juga yang mengatakan, "aku lagi gak mood. jangan ganggu." Bahkan banyak sekali statemen di jejaring sosial yang menyatakan, "Lagi gak mood nih" atau "not in a good mood" atau "kejadian tadi bikin gue gak mood" dan masih banyak lagi. Intinya, mood sering kali mempengaruhi hari-hari kita, menjadikan tugas/kerjaan terbengkalai, mengganggu hubungan sosial kita, dan lain-lain yang pada dasarnya dapat merugikan kita sendiri.

Sering kali saya sendiri merasa muak ketika melihat wajah seorang teman yang mengaku sedang bad mood. Wajahnya seperti baju kusut belum disetrika, tindak tanduknya tidak tenang dan penuh emosi, serta setiap perkataannya terasa menyakitkan. Yang paling memuakkan adalah dia merasa dia selalu benar dan semua orang disekitarnya yang salah, sehingga orang-orang di sekitarnya yang harus menyesuaikan dia. Terlintas di benakku untuk mengatakan "HELLOOO SIAPA ELLOOO???!!!"

Kadang, saya pun muak terhadap diri saya sendiri. Ya, saya sangat muak ketika saya menyadari bahwa saya pun orang yang sangat sangat sangat moody. Parahnya, ketika penyakit saya yang satu itu kambuh saya tidak hanya memasang wajah kusut tapi saya juga mengorbankan orang-orang di sekitar saya. Sering kali saya melampiaskan ketidakmoodan saya kepada orang-orang di sekitar saya yang tidak bersalah. Tidak jarang juga mereka menanyakan "kamu kenapa?", "aku takut kalo kami gini", "kamu lagi gak mood ya?" dan lain-lain. Namun, saya tetap menjawab dengan ketus. Sungguh, itu adalah saat-saat dimana saya benar-benar membenci diri saya sendiri. Saya pun merasa saya kehilangan beberapa teman dekat saya karena sifat moody saya.

Ketika itu pun selalu terlintas pertanyaan bagaimana menghilangkan sifat moodyku? Itu pun tak sekedar jadi pertanyaan. Saya mulai berusaha mencari tahu solusinya baik melalui dunia maya maupun sharing dengan teman. Ada statemen yang paling mengena di hatiku, "moody itu sebenarnya ketidakmampuan kita dalam mengatur emosi sehingga kita cenderung membebaninya kepada lingkungan sekitar." Bukankah seharusnya kita adalah orang pertama yang bertanggung jawab terhadap emosi kita sendiri?

Berawal dari situ, sedikit demi sedikit ku mulai mengatur perasaanku. Terutama ketika stressor menumpuk. Tidak mudah memang. Tidak jarang juga aku tetap "meledak". Hampir aku menyerah. Untung ada seorang sahabar yang mengatakan, "aku melihat ada perubahan kok, meskipun sesekali dia muncul, aku melihat perubahan itu." Pernyataannya menyemangatiku kembali hingga di saat refleksi diri, aku tahu kuncinya. Aku tahu sejak kapan aku berubah menjadi sosok yang emosional. Aku tahu sejak kapan aku berubah jadi sosok yang moody. Aku pun tahu kenapa aku menjadi demikan. Hanya ada satu jawaban ketika dan karena aku jauh dari Nya.

Jauh dari Nya membuat perasaanku tak damai. Selalu mencari kambing hitam ketika ada masalah. Dan ada semacam perasaan aneh yang terus membuatku murung. Dan ketika aku berusaha untuk "kembali", aku merasa semua menjadi mudah. Lebih mudah mengatur hati dan emosi. Tapi bukan berarti aku tak pernah marah lagi atau tidak mood lagi. Aku hanya manusia biasa. Setidaknya ketika mereka muncul aku lebih bisa mengalihkannya ke hal-hal yang tidak merugikan orang lain. Aku sadar aku harus bertanggung jawab 100% atas apapun yang terjadi padaku. Dan aku menemukan satu obat ampuh untuk mengobati ketidakmoodanku. PASIEN. :)

Minggu, 15 Juli 2012

IRI

 Kenapa tulisan ini berjudul iri? Sudah pasti karena saya sedang iri. Ya, saya iri dengan teman-teman saya yang bisa menuliskan apapun yang ada dihati dan fikirannya dengan mudah. Saya iri dengan orang-orang yang bisa menulis dengan indah. Saya iri dengan orang-orang yang bisa membuat kisah hidupnya menjadi sebuah tulisan yang enak untuk dibaca. Saya iri dengan orang-orang yang melalui tulisannya bisa menjadi orang sukses. saya BENAR-BENAR SANGAT IRI.

Setelah membaca blog beberapa teman, sejujurnya saya terinspirasi untuk menulis lagi. Tapi seperti biasa, saya tidak dapat menuliskan apa yang sebenarnya ingin saya tulis. Tiba-tiba otak saya berhenti bekerja melanjutkan kisah yang ingin saya tulis dan akhirnya, saya pun menulis sesuatu yang mudah dirangkai oleh otakku dan dibahasakan oleh tanganku.

Saya yakin, meski belum bisa menulis dengan baik, saya akan bisa melakukannya jika saya terus mencoba. Dan salah satunya saya lakukan melalui tulisan ini. Tulisan yang belum tentu berarti untuk Anda, tapi bukan juga tulisan yang tidak berarti.

Minggu, 29 April 2012

Behavioural Pain Scale (BPS)

Sempat ada pertanyaan ketika diskusi antara kelompok pendidikan profesi saya dengan teman kelompok lain satu angkatan yang sedang melewati stase KGD. Mereka mengangkat diagnosa nyeri padahal pasien terpasang ventilator mekanik dengan tingkat kesadaran sopor. Pertanyaan yang terbesit saat itu, mungkinkah pasien dengan tingkat kesadaran sopor dia mampu merasakan nyeri? Bagaimana kita bisa menilai nyeri padahal pasien dalam keadaan sopor? Mereka pun menjawab pertanyaan bahwa penilaian nyeri yang mereka lakukan dengan skala wajah yang biasanya digunakan pada anak. Pertanyaan pun muncul kembali, tidak rancukah penilaian nyeri dengan skala wajah pada pasien sopor? Ada kemungkinan pasien mengekspresikan hal lain selain nyeri, mungkin karena kegelisahan pasien itu sendiri atau ketidaknyamanan pasien terhadap alat-alat lain. Diskusi pun berakhir dengan jawaban yang kurang memuaskan bagi kami.

Satu bulan berselang, giliran kelompok kami yang menjalani stase KGD. Sama dengan kelompok sebelumnya, kami pun mengelola kasus kelompok. Kami mendapat kasus yang cukup menarik, yaitu "Kraniotomi atas indikasi Subdural Hematom". Pada saat pengkajian pasien kami mengalami penurunan kesadara (apatis) dan pasien menggunakan ventilator mekanik. Awalnya, kelompok mengambil 5 diagnosa keperawatan tanpa ada diagnosa nyeri. Namun setelah konsultasi dengan pembimbing klinik dan akademik, beliau menganjurkan adanya diagnosa nyeri. Kami pun masih berargumen untuk tetap tidak mengambil diagnosa tersebut karena menurut kami belum ada penilaian yang jelas. Sang pembimbing justru membalikkan pertanyaan, kenapa klien mendapat analgesik seperti morfin dan ketorolac? Untuk apa klien mendapat obat-obat tersebut jika klien tidak merasakan nyeri? Pembimbing pun menganalogikan bahwa setiap pasien yang mengalami pembedahan (kasus kelompok kraniotomi), pasti akan merasa nyeri. Apabila obat-obat tersebut dihentikan pemberiannya, pasti klien akan mengalami perubahan nilai tanda-tanda vital seperti frekuensi nadi dan tekanan darah. Kami pun menyadari bahwa klien pasti merasakan nyeri. Hanya saja, di otak kami masih terbesit pertanyaan, bagaimana cara menilainya? Apa saja tanda-tanda yang dapat kami lihat untuk mengidentifikasi nyeri pada pasien untuk mengetahui pasien yang mengalami penurunan kesadaran?

Pertanyaan kami pun akhirnya terjawab setelah kami berhasil menemukan sebuah jurnal berjudul "Use of a Behavioural Pain Scale to Assess Pain in Ventilated, Unconscious and/or Sedated Patients". Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Behavioural Pain Scale (BPS) valid dan reliabel jika digunakan untuk menilai skala nyeri pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran ataupun yang sedang dalam efek sedasi. Hasil tersebut juga sejalan dengan fluktuasi heodinamik pada pasien dimana heart rate dan tekanan darah akan naik jika nilai BPS pasien juga naik. Hal tersebut menunjukkan bahwa BPS efektif digunakan untuk menilai nyeri pada pasien penurunan kesadaran.

Setalah mengetahui adanya BPS, muncul lagi pertanyaan apa sih BPS itu? Bagaimana penilaiannya?
BPS atau Behavioural Pain Scale adalah sebuah alat yang dapat digunakan untuk penilaian nyeri pada pasien penurunan kesadaran dengan ventilator dimana penilaian tersebut berdasarkan tiga ekspresi perilaku, yaitu ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas atas, dan kompensasi terhadap ventilator. BPS menggambarkan nyeri dalam rentan skor antara 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri paling hebat). Adapun penilaiannya adalah sebagai berikut:
  1. Ekspresi Wajah: relaks/santai (skor 1), sedikit mengerut/mis. mengerutkan dahi (skor 2), mengerut secara penuh/mis. hingga menutup kelopak mata (skor 3), meringis (skor 4).
  2. Pergerakan Ekstremitas Atas: tidak ada pergerakan (skor 1), sedikit membungkuk (skor 2), membungkuk penuh dengan fleksi pada jari (skor 3), retraksi permanen (skor 4)
  3. Kompensasi terhadap Ventilator: pergerakan yang menoleransi (skor 1), batuk dengan pergerakan (skor 2), melawan ventilator (skor 3), tidak mampu mengontrol ventilator (skor 4).
Semoga cerita saya dan teman-teman saya bisa bermanfaat untuk kita semua khususnya untuk perkembangan ilmu keperawatan. Amin.

Sumber:
http://www.aspmn.org/Organization/documents/NonverbalJournalFINAL.pdf
http://www.consensus-conference.org/data/Upload/Consensus/1/pdf/1670.pdf