Selasa, 19 Februari 2013

Share Klinik #1: Trust, kunci dari pelayanan


Ada seorang kakak yang memintaku untuk share pengalaman klinik. Aku pun memutar otak, apa yang akan ku share, sementara pengalaman klinikku masih sangat minimal. Tapi, karenanya aku ingin menceritakan apa yang sejauh ini aku rasakan selama bekerja di klinik. Aku baru bekerja 4 bulan di sebuah rumah perawatan luka, jadi tidak banyak yang ingin aku ceritakan. Hanya ada empat poin. Dan kali ini aku hanya ingin menceritakan satu diantaranya. Tentang “trust”. Trust, kunci dari pelayanan.


Setidaknya, itu yang dapat aku simpulkan selama bekerja di sini. Ya, trust menurutku adalah kunci dari kesuksesan sebuah pelayanan. Khususnya pelayanan kesehatan, dalam kasusku perawatan luka. Mungkin menurut sebagian orang, kesuksesan merawat luka tergantung dari dressing yang diberikan ke pasien. Aku bukan tidak setuju dengan pendapat itu, tapi sebagus apa pun dressing yang diberikan kalau pasien belum trust dengan perawat, kesembuhan pasien akan terhambat. Karena trust adalah kuncinya.

Kenapa aku bisa mengatakan demikian? Itu yang aku alami. Kegagalan pertamaku merawat pasien.

Tn. Kr dengan luka abses di telinga kanan. Seperti biasanya, pada awal pertemuan aku menjelaskan proses perawatan sedetail-detailnya. Itu adalah protap (prosedur tetap) di tempat kerjaku, RUMAT. Waktu itu, aku sangat yakin tak ada yang terlewat. Di awal pertemuan pula, aku menduga proses penyembuhannya akan lebih lama dari pasien pada umumnya. Banyak pus, bau menusuk hidung, kondisi luka juga tidak seperti kondisi luka pada pasien pada umumnya. Meskipun demikian, aku berkeyakinan, jika Allah berkehendak, luka seperti apa pun bisa disembuhkan.

Pertemuan-demi pertemuan pun terlewati. Entah kenapa, setiap bertemu dengan pasien tersebut aku merasa semangatku menurun dan mendadak moody ku kambuh. Aku merasa seperti energi positifku tersedot, entah oleh apa. Hampir aku menyerah, tapi ku buang jauh-jauh pikiran itu.

Pertemuan kelima, belum ada progres yang berarti di pasien tersebut. Dan kembali aku hampir menyerah. Tapi tidak ku ikuti keinginanku itu. Aku hanya mengkonsultasikan kasusku kepada rekan yang lebih senior, bahkan hingga direktur Rumah Perawatan Indonesia. Namun, tak ada perubahan juga.

Pertemuan kedelapan mungkin menjadi puncak kejenuhan kami. Kejenuhanku dan kejenuhan pasien. Aku yang sedang hampir putus asa, tiba-tiba diberondong dengan sederet komplain yang terasa memojokkanku. Mulai dari nyeri yang dia rasakan saat perawatan, luka yang tak kunjung sembuh, hingga masalah ekonomi. Saya hanya mencoba bersabar dan tetap tersenyum serta menjelaskan sebisaku.

Kejadian tersebut benar-benar menyadarkanku. Aku tersadar, pasien tidak memiliki trust terhadapku. Bahkan dia tidak memilikinya dari awal kami bertemu. Dari dia yang enggan mendengarkan penjelasanku karena ingin segera dirawat. Ya, saya gagal membangun trust dari awal.

Karena tidak ada trust, energi yang dikeluarkan pun jadi negatif yang menyebabkan lingkungan sekitar menjadi negatif pula. Karena tidak ada trust, tidak ada sinergi antara perawat dan pasien. Karena tidak ada trust, hormon dalam tubuh merespon negatif pula. Karena tidak adanya trust, jangankan pasien sembuh, membaik pun tidak.

Itulah yang membuatku percaya bahwa trust adalah kunci dari setiap pelayanan. Ibarat rumah, jika kita tidak pernah bisa membuka kuncinya, ita tidak akan bisa masu rumah tersebut dengan leluasa. Bagaimanapun caranya, saat bertemu dengan pasien bangun trust terlebih dahulu sebelum melakukan hal lain.

Ners, yang perlu kita ingat, penentu kesembuhan pasien tidak hanya trust. Trust adalah kuncinya. Namun kita butuh lebih dari sekedar kunci. Masih ada hal lain yang perlu kita bangun. Tiga diantaranya, akan segera kuceritakan. “dhinns”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar