Tidak sedikit orang yang mengatakan "nanti deh ngerjainnya, lagi gak mood." Ada juga yang mengatakan, "aku lagi gak mood. jangan ganggu." Bahkan banyak sekali statemen di jejaring sosial yang menyatakan, "Lagi gak mood nih" atau "not in a good mood" atau "kejadian tadi bikin gue gak mood" dan masih banyak lagi. Intinya, mood sering kali mempengaruhi hari-hari kita, menjadikan tugas/kerjaan terbengkalai, mengganggu hubungan sosial kita, dan lain-lain yang pada dasarnya dapat merugikan kita sendiri.
Sering kali saya sendiri merasa muak ketika melihat wajah seorang teman yang mengaku sedang bad mood. Wajahnya seperti baju kusut belum disetrika, tindak tanduknya tidak tenang dan penuh emosi, serta setiap perkataannya terasa menyakitkan. Yang paling memuakkan adalah dia merasa dia selalu benar dan semua orang disekitarnya yang salah, sehingga orang-orang di sekitarnya yang harus menyesuaikan dia. Terlintas di benakku untuk mengatakan "HELLOOO SIAPA ELLOOO???!!!"
Kadang, saya pun muak terhadap diri saya sendiri. Ya, saya sangat muak ketika saya menyadari bahwa saya pun orang yang sangat sangat sangat moody. Parahnya, ketika penyakit saya yang satu itu kambuh saya tidak hanya memasang wajah kusut tapi saya juga mengorbankan orang-orang di sekitar saya. Sering kali saya melampiaskan ketidakmoodan saya kepada orang-orang di sekitar saya yang tidak bersalah. Tidak jarang juga mereka menanyakan "kamu kenapa?", "aku takut kalo kami gini", "kamu lagi gak mood ya?" dan lain-lain. Namun, saya tetap menjawab dengan ketus. Sungguh, itu adalah saat-saat dimana saya benar-benar membenci diri saya sendiri. Saya pun merasa saya kehilangan beberapa teman dekat saya karena sifat moody saya.
Ketika itu pun selalu terlintas pertanyaan bagaimana menghilangkan sifat moodyku? Itu pun tak sekedar jadi pertanyaan. Saya mulai berusaha mencari tahu solusinya baik melalui dunia maya maupun sharing dengan teman. Ada statemen yang paling mengena di hatiku, "moody itu sebenarnya ketidakmampuan kita dalam mengatur emosi sehingga kita cenderung membebaninya kepada lingkungan sekitar." Bukankah seharusnya kita adalah orang pertama yang bertanggung jawab terhadap emosi kita sendiri?
Berawal dari situ, sedikit demi sedikit ku mulai mengatur perasaanku. Terutama ketika stressor menumpuk. Tidak mudah memang. Tidak jarang juga aku tetap "meledak". Hampir aku menyerah. Untung ada seorang sahabar yang mengatakan, "aku melihat ada perubahan kok, meskipun sesekali dia muncul, aku melihat perubahan itu." Pernyataannya menyemangatiku kembali hingga di saat refleksi diri, aku tahu kuncinya. Aku tahu sejak kapan aku berubah menjadi sosok yang emosional. Aku tahu sejak kapan aku berubah jadi sosok yang moody. Aku pun tahu kenapa aku menjadi demikan. Hanya ada satu jawaban ketika dan karena aku jauh dari Nya.
Jauh dari Nya membuat perasaanku tak damai. Selalu mencari kambing hitam ketika ada masalah. Dan ada semacam perasaan aneh yang terus membuatku murung. Dan ketika aku berusaha untuk "kembali", aku merasa semua menjadi mudah. Lebih mudah mengatur hati dan emosi. Tapi bukan berarti aku tak pernah marah lagi atau tidak mood lagi. Aku hanya manusia biasa. Setidaknya ketika mereka muncul aku lebih bisa mengalihkannya ke hal-hal yang tidak merugikan orang lain. Aku sadar aku harus bertanggung jawab 100% atas apapun yang terjadi padaku. Dan aku menemukan satu obat ampuh untuk mengobati ketidakmoodanku. PASIEN. :)
Sabtu, 04 Agustus 2012
Minggu, 15 Juli 2012
IRI
Kenapa tulisan ini berjudul iri? Sudah pasti karena saya sedang iri. Ya, saya iri dengan teman-teman saya yang bisa menuliskan apapun yang ada dihati dan fikirannya dengan mudah. Saya iri dengan orang-orang yang bisa menulis dengan indah. Saya iri dengan orang-orang yang bisa membuat kisah hidupnya menjadi sebuah tulisan yang enak untuk dibaca. Saya iri dengan orang-orang yang melalui tulisannya bisa menjadi orang sukses. saya BENAR-BENAR SANGAT IRI.
Setelah membaca blog beberapa teman, sejujurnya saya terinspirasi untuk menulis lagi. Tapi seperti biasa, saya tidak dapat menuliskan apa yang sebenarnya ingin saya tulis. Tiba-tiba otak saya berhenti bekerja melanjutkan kisah yang ingin saya tulis dan akhirnya, saya pun menulis sesuatu yang mudah dirangkai oleh otakku dan dibahasakan oleh tanganku.
Saya yakin, meski belum bisa menulis dengan baik, saya akan bisa melakukannya jika saya terus mencoba. Dan salah satunya saya lakukan melalui tulisan ini. Tulisan yang belum tentu berarti untuk Anda, tapi bukan juga tulisan yang tidak berarti.
Setelah membaca blog beberapa teman, sejujurnya saya terinspirasi untuk menulis lagi. Tapi seperti biasa, saya tidak dapat menuliskan apa yang sebenarnya ingin saya tulis. Tiba-tiba otak saya berhenti bekerja melanjutkan kisah yang ingin saya tulis dan akhirnya, saya pun menulis sesuatu yang mudah dirangkai oleh otakku dan dibahasakan oleh tanganku.
Saya yakin, meski belum bisa menulis dengan baik, saya akan bisa melakukannya jika saya terus mencoba. Dan salah satunya saya lakukan melalui tulisan ini. Tulisan yang belum tentu berarti untuk Anda, tapi bukan juga tulisan yang tidak berarti.
Minggu, 29 April 2012
Behavioural Pain Scale (BPS)
Sempat ada pertanyaan ketika diskusi antara kelompok pendidikan profesi saya dengan teman kelompok lain satu angkatan yang sedang melewati stase KGD. Mereka mengangkat diagnosa nyeri padahal pasien terpasang ventilator mekanik dengan tingkat kesadaran sopor. Pertanyaan yang terbesit saat itu, mungkinkah pasien dengan tingkat kesadaran sopor dia mampu merasakan nyeri? Bagaimana kita bisa menilai nyeri padahal pasien dalam keadaan sopor? Mereka pun menjawab pertanyaan bahwa penilaian nyeri yang mereka lakukan dengan skala wajah yang biasanya digunakan pada anak. Pertanyaan pun muncul kembali, tidak rancukah penilaian nyeri dengan skala wajah pada pasien sopor? Ada kemungkinan pasien mengekspresikan hal lain selain nyeri, mungkin karena kegelisahan pasien itu sendiri atau ketidaknyamanan pasien terhadap alat-alat lain. Diskusi pun berakhir dengan jawaban yang kurang memuaskan bagi kami.
Satu bulan berselang, giliran kelompok kami yang menjalani stase KGD. Sama dengan kelompok sebelumnya, kami pun mengelola kasus kelompok. Kami mendapat kasus yang cukup menarik, yaitu "Kraniotomi atas indikasi Subdural Hematom". Pada saat pengkajian pasien kami mengalami penurunan kesadara (apatis) dan pasien menggunakan ventilator mekanik. Awalnya, kelompok mengambil 5 diagnosa keperawatan tanpa ada diagnosa nyeri. Namun setelah konsultasi dengan pembimbing klinik dan akademik, beliau menganjurkan adanya diagnosa nyeri. Kami pun masih berargumen untuk tetap tidak mengambil diagnosa tersebut karena menurut kami belum ada penilaian yang jelas. Sang pembimbing justru membalikkan pertanyaan, kenapa klien mendapat analgesik seperti morfin dan ketorolac? Untuk apa klien mendapat obat-obat tersebut jika klien tidak merasakan nyeri? Pembimbing pun menganalogikan bahwa setiap pasien yang mengalami pembedahan (kasus kelompok kraniotomi), pasti akan merasa nyeri. Apabila obat-obat tersebut dihentikan pemberiannya, pasti klien akan mengalami perubahan nilai tanda-tanda vital seperti frekuensi nadi dan tekanan darah. Kami pun menyadari bahwa klien pasti merasakan nyeri. Hanya saja, di otak kami masih terbesit pertanyaan, bagaimana cara menilainya? Apa saja tanda-tanda yang dapat kami lihat untuk mengidentifikasi nyeri pada pasien untuk mengetahui pasien yang mengalami penurunan kesadaran?
Pertanyaan kami pun akhirnya terjawab setelah kami berhasil menemukan sebuah jurnal berjudul "Use of a Behavioural Pain Scale to Assess Pain in Ventilated, Unconscious and/or Sedated Patients". Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Behavioural Pain Scale (BPS) valid dan reliabel jika digunakan untuk menilai skala nyeri pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran ataupun yang sedang dalam efek sedasi. Hasil tersebut juga sejalan dengan fluktuasi heodinamik pada pasien dimana heart rate dan tekanan darah akan naik jika nilai BPS pasien juga naik. Hal tersebut menunjukkan bahwa BPS efektif digunakan untuk menilai nyeri pada pasien penurunan kesadaran.
Setalah mengetahui adanya BPS, muncul lagi pertanyaan apa sih BPS itu? Bagaimana penilaiannya?
BPS atau Behavioural Pain Scale adalah sebuah alat yang dapat digunakan untuk penilaian nyeri pada pasien penurunan kesadaran dengan ventilator dimana penilaian tersebut berdasarkan tiga ekspresi perilaku, yaitu ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas atas, dan kompensasi terhadap ventilator. BPS menggambarkan nyeri dalam rentan skor antara 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri paling hebat). Adapun penilaiannya adalah sebagai berikut:
Sumber:
http://www.aspmn.org/Organization/documents/NonverbalJournalFINAL.pdf
http://www.consensus-conference.org/data/Upload/Consensus/1/pdf/1670.pdf
Satu bulan berselang, giliran kelompok kami yang menjalani stase KGD. Sama dengan kelompok sebelumnya, kami pun mengelola kasus kelompok. Kami mendapat kasus yang cukup menarik, yaitu "Kraniotomi atas indikasi Subdural Hematom". Pada saat pengkajian pasien kami mengalami penurunan kesadara (apatis) dan pasien menggunakan ventilator mekanik. Awalnya, kelompok mengambil 5 diagnosa keperawatan tanpa ada diagnosa nyeri. Namun setelah konsultasi dengan pembimbing klinik dan akademik, beliau menganjurkan adanya diagnosa nyeri. Kami pun masih berargumen untuk tetap tidak mengambil diagnosa tersebut karena menurut kami belum ada penilaian yang jelas. Sang pembimbing justru membalikkan pertanyaan, kenapa klien mendapat analgesik seperti morfin dan ketorolac? Untuk apa klien mendapat obat-obat tersebut jika klien tidak merasakan nyeri? Pembimbing pun menganalogikan bahwa setiap pasien yang mengalami pembedahan (kasus kelompok kraniotomi), pasti akan merasa nyeri. Apabila obat-obat tersebut dihentikan pemberiannya, pasti klien akan mengalami perubahan nilai tanda-tanda vital seperti frekuensi nadi dan tekanan darah. Kami pun menyadari bahwa klien pasti merasakan nyeri. Hanya saja, di otak kami masih terbesit pertanyaan, bagaimana cara menilainya? Apa saja tanda-tanda yang dapat kami lihat untuk mengidentifikasi nyeri pada pasien untuk mengetahui pasien yang mengalami penurunan kesadaran?
Pertanyaan kami pun akhirnya terjawab setelah kami berhasil menemukan sebuah jurnal berjudul "Use of a Behavioural Pain Scale to Assess Pain in Ventilated, Unconscious and/or Sedated Patients". Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Behavioural Pain Scale (BPS) valid dan reliabel jika digunakan untuk menilai skala nyeri pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran ataupun yang sedang dalam efek sedasi. Hasil tersebut juga sejalan dengan fluktuasi heodinamik pada pasien dimana heart rate dan tekanan darah akan naik jika nilai BPS pasien juga naik. Hal tersebut menunjukkan bahwa BPS efektif digunakan untuk menilai nyeri pada pasien penurunan kesadaran.
Setalah mengetahui adanya BPS, muncul lagi pertanyaan apa sih BPS itu? Bagaimana penilaiannya?
BPS atau Behavioural Pain Scale adalah sebuah alat yang dapat digunakan untuk penilaian nyeri pada pasien penurunan kesadaran dengan ventilator dimana penilaian tersebut berdasarkan tiga ekspresi perilaku, yaitu ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas atas, dan kompensasi terhadap ventilator. BPS menggambarkan nyeri dalam rentan skor antara 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri paling hebat). Adapun penilaiannya adalah sebagai berikut:
- Ekspresi Wajah: relaks/santai (skor 1), sedikit mengerut/mis. mengerutkan dahi (skor 2), mengerut secara penuh/mis. hingga menutup kelopak mata (skor 3), meringis (skor 4).
- Pergerakan Ekstremitas Atas: tidak ada pergerakan (skor 1), sedikit membungkuk (skor 2), membungkuk penuh dengan fleksi pada jari (skor 3), retraksi permanen (skor 4)
- Kompensasi terhadap Ventilator: pergerakan yang menoleransi (skor 1), batuk dengan pergerakan (skor 2), melawan ventilator (skor 3), tidak mampu mengontrol ventilator (skor 4).
Sumber:
http://www.aspmn.org/Organization/documents/NonverbalJournalFINAL.pdf
http://www.consensus-conference.org/data/Upload/Consensus/1/pdf/1670.pdf
Senin, 23 April 2012
Berjalan atasi Depresi
BIASAKAN diri untuk berjalan
lebih sering jika Anda sering merasa depresi. Sebuah penelitian yang
dipublikasikan di Mental Health and Physical Activity memaparkan,
berjalan memiliki peranan penting dalam memerangi depresi.
Penelitian yang dilakukan di Universitas Stirling, Skotlandia tersebut mempelajari bagaimana berjalan kaki dapat mengurangi dampak dari depresi. Dari hasil penelitian terhadap 341 relawan, diungkapkan bahwa berjalan merupakan bentuk yang paling mudah dan efektif untuk memerangi depresi.
"Berjalan memiliki keuntungan yang mudah dilakukan oleh kebanyakan orang, selain biaya yang relatif murah, metode ini juga sangat efektif dalam kehidupan sehari-hari," tegas Prof Adrian Taylor, seperti yang dikutip dari Zeenews pada 14 Aprli 2012. "Dan ada manfaat untuk kondisi kesehatan mental seperti depresi," lanjut Taylor.
Cobalah untuk berjalan di area terbuka hijau seperti di taman ,kebun, atau daerah pegunungan. Selain memberi kenyamanan, hal tersebut juga akan memberikan kesegaran bagi tubuh Anda setelah letih beraktivitas.
Penelitian yang dilakukan di Universitas Stirling, Skotlandia tersebut mempelajari bagaimana berjalan kaki dapat mengurangi dampak dari depresi. Dari hasil penelitian terhadap 341 relawan, diungkapkan bahwa berjalan merupakan bentuk yang paling mudah dan efektif untuk memerangi depresi.
"Berjalan memiliki keuntungan yang mudah dilakukan oleh kebanyakan orang, selain biaya yang relatif murah, metode ini juga sangat efektif dalam kehidupan sehari-hari," tegas Prof Adrian Taylor, seperti yang dikutip dari Zeenews pada 14 Aprli 2012. "Dan ada manfaat untuk kondisi kesehatan mental seperti depresi," lanjut Taylor.
Cobalah untuk berjalan di area terbuka hijau seperti di taman ,kebun, atau daerah pegunungan. Selain memberi kenyamanan, hal tersebut juga akan memberikan kesegaran bagi tubuh Anda setelah letih beraktivitas.
Sabtu, 21 April 2012
Mengapa Saya?
(ini bukan karya saya. saya kutip dari milist Palireg)
Arthur Ashe adalah petenis kulit hitam dari Amerika yang memenangkan tiga gelar juara Grand Slam; Amerika Open (1968), Australia Open (1970), dan Wimbledon (1975).
Pada tahun 1979 ia terkena serangan jantung yg mengharuskannya menjalani operasi by pass. Setelah dua kali operasi, bukannya sembuh ia malah harus menghadapi kenyataan pahit, terinfeksi HIV melalui transfusi darah yang ia terima.
Seorang penggemar menulis surat padanya, "Mengapa Tuhan memilihmu untuk menderita penyakit itu?"
Ashe menjawab, "Di dunia ini ada 50 juta anak yang ingin bermain tenis, di antaranya 5 juta orang yang bisa belajar bermain tenis, 500 ribu belajar menjadi pemain tenis profesional, 50 ribu datang ke arena untuk bertanding, 5.000 mencapai turnamen grand slam, 50 orang berhasil sampai ke Wimbledon, empat orang di semi final, dua orang berlaga di final. Dan ketika saya mengangkat trofi Wimbledon, saya tidak pernah bertanya kepada Tuhan, 'Mengapa saya?' Jadi ketika sekarang saya dalam kesakitan, tidak seharusnya juga saya bertanya kepada Tuhan, 'Mengapa saya?'"
Sadar atau tidak, kerap kali kita merasa hanya pantas menerima hal-hal baik dalam hidup ini; kesuksesan, karier yang mulus, kesehatan.
Ketika yang kita terima justru sebaliknya; penyakit, kesulitan, kegagalan, kita menganggap Tuhan tidak adil. Sehingga kita merasa berhak untuk menggugat Tuhan.
Arthur Ashe adalah petenis kulit hitam dari Amerika yang memenangkan tiga gelar juara Grand Slam; Amerika Open (1968), Australia Open (1970), dan Wimbledon (1975).
Pada tahun 1979 ia terkena serangan jantung yg mengharuskannya menjalani operasi by pass. Setelah dua kali operasi, bukannya sembuh ia malah harus menghadapi kenyataan pahit, terinfeksi HIV melalui transfusi darah yang ia terima.
Seorang penggemar menulis surat padanya, "Mengapa Tuhan memilihmu untuk menderita penyakit itu?"
Ashe menjawab, "Di dunia ini ada 50 juta anak yang ingin bermain tenis, di antaranya 5 juta orang yang bisa belajar bermain tenis, 500 ribu belajar menjadi pemain tenis profesional, 50 ribu datang ke arena untuk bertanding, 5.000 mencapai turnamen grand slam, 50 orang berhasil sampai ke Wimbledon, empat orang di semi final, dua orang berlaga di final. Dan ketika saya mengangkat trofi Wimbledon, saya tidak pernah bertanya kepada Tuhan, 'Mengapa saya?' Jadi ketika sekarang saya dalam kesakitan, tidak seharusnya juga saya bertanya kepada Tuhan, 'Mengapa saya?'"
Sadar atau tidak, kerap kali kita merasa hanya pantas menerima hal-hal baik dalam hidup ini; kesuksesan, karier yang mulus, kesehatan.
Ketika yang kita terima justru sebaliknya; penyakit, kesulitan, kegagalan, kita menganggap Tuhan tidak adil. Sehingga kita merasa berhak untuk menggugat Tuhan.
Jumat, 20 April 2012
Adakalanya Berhenti Adalah Jalan Terbaik
Sungguh, aku tak pernah berharap untuk membunuh putriku. Tujuh tahun dalam pembaringannya, cukup membuat hatiku tak berdaya membayangkan tentang masa depannya. Gadisku yang sedang mekar dalam cerah cerianya. Dalam indah mimpi-mimpi yang berakhir pada gurauan hangat dengan teman setianya. Teman yg hanya terlihat oleh mata yang senantiasa gelap dalam terang.
***
"Mamak, aku melihat seorang perempuan di kamarku. Ia terus menatapku. Ku kira itu mamak. Tapi setelah aku bertanya padanya, ia bilang ia seusiaku."
"Sudahlah nduk, mungkin kau hanya mimpi. Sejak kau jatuh beberapa hari yang lalu, kau hanya diam tanpa suara. Dari sekian banyak orang yang menjengukmu, tak satupun yang kau kenali."
"Tidak, kemarin aku berjalan-jalan dengannya. Bercerita banyak hal tentang mimpi-mimpi kami. Ia mengajakku ke sebuah tempat yang sangat indah. Hijau. Pink. Merah. Iapun memberikan semua warna yang kusuka." gadisku terus bercerita dengan senyum manisnya.
Aku hanya bisa memasang telingaku. Mulutku bungkam membisu. Hanya butiran dingin yang memenuhi mataku.
"Mak, tempat itu indah. Sangat terang. Bahkan aku bisa melihat awan dengan sangat jelas. Mak, mengapa engkau mematikan lampunya? Atau memang sedang mati lampu ya, Mak?"
Aku hanya bisa membawa diriku dalam diam. Semuanya telah terjadi. Dan aku hanya bisa mengharap mukjizat. Mukjizat dariNya yang sempat kuragukan.
"Tak akan ada banyak hal yang bisa diperbaiki. Sudah terlalu lama tumor itu bersarang di otaknya. Jangan terlalu banyak berharap dari operasi ini. Kemungkinan terjadi perburukan jauh lebih besar dibanding munculnya perbaikan. Saya tidak menyarankan, tetapi jika keluarga meminta, kita lakukan." ucap wanita berjas putih itu, satu hari sebelum ia membuka tempurung kepala gadisku selama delapan jam di meja operasi. Dokter spesialis bedah kranial yang akan menangani gadisku.
***
"Bisa jadi, ini memang yang terbaik suster. Berhenti. Mungkin itu yang terbaik. Tapi saya ingin melihatnya seperti teman-temannya. Berjalan seperti masa-masa remajanya. Saya masih menunggu mukjizat itu, Suster. "
"Ibu, saya sangat mengerti kondisi itu. Sangat berat memang untuk melepaskan orang yang kita cintai. Namun, semuanya sudah maksimal. Mesin ventilator, obat-obat jantung, sudah berada di batas paling tinggi. Namun tubuhnya sudah tak mampu menerima segala obat-obat yang diberikan."
"Tapi ia masih bernapas, Suster. Dadanya masih mengembang. Masih bergerak."
"Ya, Ibu benar. Dadanya masih bergerak. Parunya masih mengembang. Tapi itu semua karena mesin. Sudah tak ada lagi trigger. Tak ada sedikitpun upaya napas darinya." Suster didepanku menjelaskan dengan suara lembutnya. Namun bagiku apa yang ia katakan sungguh pukulan keras untukku.
"Lalu, apakah itu berarti hanya menunggu jantungnya berhenti, Sus?"
Suster mengangguk. Selama tujuh hari, aku terus menanyakan hal yang sama pada semua perawat di ruang intensif ini. Dan semua jawaban mereka sama. Ya Allah, apa yang sebenarnya Kau inginkan dariku?
***
"Bed satu bradikardi!" Teriak salah seorang suster.
Dengan sangat segera seorang perawat lainnya menyeret sebuah meja dengan sebuah alat diatasnya.
Seorang perawat laki-laki menempatkn sebuah papan bertulis CPR board dibawah kepala dan punggung gadisku. Dalam hitungan detik ia menaiki tempat tidur dengan kedua lutut sebagai tumpuannya. Kedua telapak tangannya ditempatkan di dada gadisku. Tepat di tengah. Ia tekankan tangannya berulang kali secara terus-menerus. Mungkin ini yg disebut pijat jantung. Di sisi bagian kepala tempat tidur, seorang perawat wanita memegangi kepala gadisku. Ia dongakkan kepala gadisku dengan tangan kirinya yg mencengkeram rahang bawah gadisku sambil mempertahankan sungkup oksigen di mulut dan hidung. Tangan kanan suster itu memegangi bagian yang menggelembung dan memompanya dua kali setelah pijat jantung tekanan ke 30.
***
Aku mendengar suara itu. Mamakku.
"Allah...Allah...Allah.."
terus ia bisikkan ketelingaku.
Tekanan dijantungku tiba-tiba dihentikan. Sebuah tangan menyentuh leherku. Meraba bagian tepi mencoba merasakan denyut nadiku. Kosong. Aku tak merasakan satupun denyutan ditubuhku.
"Pulseless. Tanpa nadi." kudengar sebuah suara. Jantungku kembali dipompa.
"Allah..Allah..Allah.." masih suara mamakku.
Aku melihat semuanya. Wajah-wajah itu. Mamak. Bapak.
Di sudut lain bacaan Al-Quran terasa sayup kudengar.
Tubuhku terasa ringan. Sangat ringan.
"Cukup Suster. Cukup Dokter." ucap mamak serak dalam isaknya.
Semuanya dilepaskan. Jantungku berhenti. Leherku terasa tercekik.
Mamak, tolong aku. Mamak. "A..Al..Al.."
Aku ingin mengucapkan sesuatu, tapi sungguh sulit. Seolah segalanya terhapus dalam ingatanku.
"Al..Al..Al.." mamak tolong aku.
Mamak seolah mendengar suaraku. Sambil mengusap keningku, mamak membisikkan padaku."Nak, maafkan mamak. Mamak ikhlas. Allah..Allah..Allah.."
"Allah.." akhirnya aku mampu mengatakannya. Beberapa detik kemudian, angka di monitor seluruhnya nol.
"Asistole, Dok." ucap suster pada Dokter. Dengan stetoskop, Dokter mendengarkan detak jantungku, bergantian dengan seorang suster. Lalu suster menyinari mataku, memeriksa pupil mata kanan dan kiri. Bergantian dengan Dokter.
"Dilatasi maksimal." kata seorang suster.
Tiga orang suster dan seorang dokter saling bertatapan. Mereka saling mengangguk satu sama lain.
"Maaf Ibu, sudah tidak ada."
"Asyhaduallaa..ilaa ha illalloh..." leherku kembali terkecik. Sakit. Lebih sakit dari sebelumnya.
"Wa asyhadu anna..muhammadar..rasulullah.." rasa tercekik tiu hilang. Kini tubuhku ringan. Seringan butir salju yang selalu kumimpikan.
***
"Mak, biarkan aku kembali berjalan-jalan dengannya. Bercerita banyak hal tentang mimpi-mimpiku. Ijinkan ia mengajakku ke sebuah tempat yang sangat indah. Hijau. Pink. Merah. Karna ia berjanji akan memberikan semua warna yang kusuka. "
Selasa, 17 April 2012
Assalamu'alaikum...
Mungkin terlambat untuk memulai, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Inilah langkah awalku menulis (walau sedikit dan 'ringan') dan mempublikasikannya. WELCOME TO MY BLOG. Semoga tulisanku bisa bermanfaat. ^daa^
Langganan:
Postingan (Atom)