Hanya berharap mukjizat. Tentang kuasa Tuhan yang mampu
menterjemahkan arti keajaiban. Saat jantung tak mampu lagi menjalankan
fungsinya dengan sempurna. Saat paru hanya mampu mengembang dengan
bantuan mesin. Ventilator, seolah menjadi raja pada mereka yang gagal
napas. Lalu obat pacu jantung mulai turut mengendalikan detak
jantungnya.
Sungguh, aku tak pernah berharap untuk
membunuh putriku. Tujuh tahun dalam pembaringannya, cukup membuat
hatiku tak berdaya membayangkan tentang masa depannya. Gadisku yang
sedang mekar dalam cerah cerianya. Dalam indah mimpi-mimpi yang berakhir
pada gurauan hangat dengan teman setianya. Teman yg hanya terlihat oleh
mata yang senantiasa gelap dalam terang.
***
"Mamak,
aku melihat seorang perempuan di kamarku. Ia terus menatapku. Ku kira
itu mamak. Tapi setelah aku bertanya padanya, ia bilang ia seusiaku."
"Sudahlah
nduk, mungkin kau hanya mimpi. Sejak kau jatuh beberapa hari yang lalu,
kau hanya diam tanpa suara. Dari sekian banyak orang yang menjengukmu,
tak satupun yang kau kenali."
"Tidak, kemarin aku berjalan-jalan
dengannya. Bercerita banyak hal tentang mimpi-mimpi kami. Ia mengajakku
ke sebuah tempat yang sangat indah. Hijau. Pink. Merah. Iapun memberikan
semua warna yang kusuka." gadisku terus bercerita dengan senyum
manisnya.
Aku hanya bisa memasang telingaku. Mulutku bungkam membisu. Hanya butiran dingin yang memenuhi mataku.
"Mak,
tempat itu indah. Sangat terang. Bahkan aku bisa melihat awan dengan
sangat jelas. Mak, mengapa engkau mematikan lampunya? Atau memang sedang
mati lampu ya, Mak?"
Aku hanya bisa membawa diriku dalam
diam. Semuanya telah terjadi. Dan aku hanya bisa mengharap mukjizat.
Mukjizat dariNya yang sempat kuragukan.
"Tak akan ada
banyak hal yang bisa diperbaiki. Sudah terlalu lama tumor itu bersarang
di otaknya. Jangan terlalu banyak berharap dari operasi ini. Kemungkinan
terjadi perburukan jauh lebih besar dibanding munculnya perbaikan. Saya
tidak menyarankan, tetapi jika keluarga meminta, kita lakukan." ucap
wanita berjas putih itu, satu hari sebelum ia membuka tempurung kepala
gadisku selama delapan jam di meja operasi. Dokter spesialis bedah
kranial yang akan menangani gadisku.
***
"Bisa
jadi, ini memang yang terbaik suster. Berhenti. Mungkin itu yang
terbaik. Tapi saya ingin melihatnya seperti teman-temannya. Berjalan
seperti masa-masa remajanya. Saya masih menunggu mukjizat itu, Suster. "
"Ibu,
saya sangat mengerti kondisi itu. Sangat berat memang untuk melepaskan
orang yang kita cintai. Namun, semuanya sudah maksimal. Mesin
ventilator, obat-obat jantung, sudah berada di batas paling tinggi.
Namun tubuhnya sudah tak mampu menerima segala obat-obat yang
diberikan."
"Tapi ia masih bernapas, Suster. Dadanya masih mengembang. Masih bergerak."
"Ya,
Ibu benar. Dadanya masih bergerak. Parunya masih mengembang. Tapi itu
semua karena mesin. Sudah tak ada lagi trigger. Tak ada sedikitpun upaya
napas darinya." Suster didepanku menjelaskan dengan suara lembutnya.
Namun bagiku apa yang ia katakan sungguh pukulan keras untukku.
"Lalu, apakah itu berarti hanya menunggu jantungnya berhenti, Sus?"
Suster
mengangguk. Selama tujuh hari, aku terus menanyakan hal yang sama pada
semua perawat di ruang intensif ini. Dan semua jawaban mereka sama. Ya
Allah, apa yang sebenarnya Kau inginkan dariku?
***
"Bed satu bradikardi!" Teriak salah seorang suster.
Dengan sangat segera seorang perawat lainnya menyeret sebuah meja dengan sebuah alat diatasnya.
Seorang
perawat laki-laki menempatkn sebuah papan bertulis CPR board dibawah
kepala dan punggung gadisku. Dalam hitungan detik ia menaiki tempat
tidur dengan kedua lutut sebagai tumpuannya. Kedua telapak tangannya
ditempatkan di dada gadisku. Tepat di tengah. Ia tekankan tangannya
berulang kali secara terus-menerus. Mungkin ini yg disebut pijat
jantung. Di sisi bagian kepala tempat tidur, seorang perawat wanita
memegangi kepala gadisku. Ia dongakkan kepala gadisku dengan tangan
kirinya yg mencengkeram rahang bawah gadisku sambil mempertahankan
sungkup oksigen di mulut dan hidung. Tangan kanan suster itu memegangi
bagian yang menggelembung dan memompanya dua kali setelah pijat jantung
tekanan ke 30.
***
Aku mendengar suara itu. Mamakku.
"Allah...Allah...Allah.."
terus ia bisikkan ketelingaku.
Tekanan
dijantungku tiba-tiba dihentikan. Sebuah tangan menyentuh leherku.
Meraba bagian tepi mencoba merasakan denyut nadiku. Kosong. Aku tak
merasakan satupun denyutan ditubuhku.
"Pulseless. Tanpa nadi." kudengar sebuah suara. Jantungku kembali dipompa.
"Allah..Allah..Allah.." masih suara mamakku.
Aku melihat semuanya. Wajah-wajah itu. Mamak. Bapak.
Di sudut lain bacaan Al-Quran terasa sayup kudengar.
Tubuhku terasa ringan. Sangat ringan.
"Cukup Suster. Cukup Dokter." ucap mamak serak dalam isaknya.
Semuanya dilepaskan. Jantungku berhenti. Leherku terasa tercekik.
Mamak, tolong aku. Mamak. "A..Al..Al.."
Aku ingin mengucapkan sesuatu, tapi sungguh sulit. Seolah segalanya terhapus dalam ingatanku.
"Al..Al..Al.." mamak tolong aku.
Mamak
seolah mendengar suaraku. Sambil mengusap keningku, mamak membisikkan
padaku."Nak, maafkan mamak. Mamak ikhlas. Allah..Allah..Allah.."
"Allah.." akhirnya aku mampu mengatakannya. Beberapa detik kemudian, angka di monitor seluruhnya nol.
"Asistole,
Dok." ucap suster pada Dokter. Dengan stetoskop, Dokter mendengarkan
detak jantungku, bergantian dengan seorang suster. Lalu suster menyinari
mataku, memeriksa pupil mata kanan dan kiri. Bergantian dengan Dokter.
"Dilatasi maksimal." kata seorang suster.
Tiga orang suster dan seorang dokter saling bertatapan. Mereka saling mengangguk satu sama lain.
"Maaf Ibu, sudah tidak ada."
"Asyhaduallaa..ilaa ha illalloh..." leherku kembali terkecik. Sakit. Lebih sakit dari sebelumnya.
"Wa
asyhadu anna..muhammadar..rasulullah.." rasa tercekik tiu hilang. Kini
tubuhku ringan. Seringan butir salju yang selalu kumimpikan.
***
"Mak,
biarkan aku kembali berjalan-jalan dengannya. Bercerita banyak hal
tentang mimpi-mimpiku. Ijinkan ia mengajakku ke sebuah tempat yang
sangat indah. Hijau. Pink. Merah. Karna ia berjanji akan memberikan
semua warna yang kusuka. "